"Seksinya...!"
“Seksinya...!”
Kita semua tahu bahwa pembuat film –sutradara dan produser lebih utama- acapkali merupakan sosok –tak ubahnya narasi esai ini, yang bagi saya jelaslah sulit, meski dengan daya dan upaya diusahakan, menanggalkan perspektif jender saya- laki-laki. Maksudnya adalah lebih dominan, bukan berarti semua pembuat film adalah laki-laki. Hal ini disebabkan karena budaya patriarki yang menghidupi dunia ini, termasuk mencipta film. Dalam budaya patriarki, laki-laki berada pada posisi di atas perempuan yang dapat melakukan tindakan lebih laluasa ketimbang perempuan (perempuan subordinat, menurut Spivak bahwa subordinat itu dilarang bicara). Pembuat film itulah penggagas ide di dalam unsur-unsur film yang akan dibuat. Laki-laki di sini menjadi sebagai penggagas dan target pasar (orientasi jender).
Kameramen, salah satu instrumen produksi, laki-laki akan mengambil bingkai kamera yang berfokus pada titik-titik keperempuanan. Si kameramen mengambil titik-titik tadi dengan tujuan menambah keindahan bagi penontonnya. Nah, di sinilah akan terlihat orientasi jender penonton dan pembuat film tadi, yakni laki-laki.
Dari pola itu muncul film-film yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Tujuannya ialah membuat daya tarik penonton dengan perspektif kelaki-lakian. Akibatnya, perempuan penonton kadangkala secara taksadar tubuhnya, yang serupa di dalam film, sedang dinikmati oleh laki-laki penonton, yang akan dengan mudahnya mentransformasi imaji tubuh di dalam film kepada tubuh perempuan yang dihadapinya. Dianggap (laki-laki penonton) bahwa tubuh perempuan di dalam film adalah tubuh perempuan yang ada di depan matanya (kenyataan, di luar film). bagi Baudrillard, di sana pun telah terjadi kenikmatan visual.
Salah satu jenis produksi film adalah video klip. Video klip diciptakan berdasar pada musik, gaya musik, bentuk musik, maupun kesesuaian lirik. Paling tidak satu diantara keempatnya.
Video-video yang berasal dari India, Negeri Paman Sam, atau negeri-negeri Eropa yang membebaskan eksploitasi tubuh erotis di ruang-ruang publik, misalnya, sangat kuat gaya penubuhan perempuan sebagai daya tarik massa. Contohnya, “Chammak Challo” yang di dalamnya ada aktris cantik nan seksi Karena Kapoor, video-video si manis dari Perancis Alizee Jacotey yang acapkali bergoyang pinggul, serta artis-artis seksi lainnya dari Negeri Paman Sam (Katty P., Britney Spears, Madonna, dll), dan aktris-aktri lainnya.
Begitulah racikan video-video klip yang merangsang laki-laki penonton di dunia patriarki saat ini. Selain sebagai daya tarik pasar, sesungguhnya ada kepuasan pula bagi si artis ketika ia dieksploitasi tanpa sadar karena ‘iming-iming’ ketenaran serta kebanggaan tubuhnya. Dengan ‘kekuasaan’ lelaki, maka kebanggaan dan daya tarik pasar sangatlah efektif. Pemasaran video akan lebih optimal di ‘tangan’ laki-laki serta peredaran semakin cepat. Kepuasaan aktrisnya pun ikut mengiringi, kepuasan atas tubuhnya (hasrat) dan kepuasaan atas ketenaran yang memungkinkan si aktris dapat dengan mudah mengakses berbagai kebutuhannya.
Pada akhirnya, hasil dari peredaran video seperti itu adalah lontaran “seksinya...!” Inilah realitas pop melalui peredaran video klip di dunia industri seni kreatif saat ini!
(tulisan ini kontribusi untuk majalah elektronik Narodnik #2)