Iklan Tubuh
http://catatancintaabadi.blogspot.com/2012/09/iklan-tubuh.html
“Damn! I Love Indonesia.” Susunan kata ini dengan tegas menyatakan kecintaannya terhadap Indonesia. Saya melihat susunan kata itu di sebuah baju artis ternama di negeri ini, yang disiarkan langsung ke seluruh penjuru tanah air, dan kemungkinan ditonton pula hingga ke luar penjuru tanah air. Kata-kata itu meresap ke dalam pikiran saya. Merasuk ke dalam pikiran, dan suatu waktu mungkin akan timbul lagi di dalam ingatan saya.
Bukan hanya kata-kata seperti itu, banyak kata lainnya yang sengaja diletakkan di baju, celana, tas, dan sebagainya. Awalnya, kata yang ada di pakaian hanyalah sebuah tanda. Jauh sebelum produksi baju digerakkan secara massal, pakaian dan aksesoris yang ada di tubuh seseorang hanya digunakan untuk menandai suku maupun kelompok. Kemudian, di dalam sirkulasi nilai kapitalisme dengan ciri produksi massalnya, penandaan itu bergeser menjadi penandaan produsen. Penanda di pakaian dan aksesoris itu menunjukkan apa dan siapa pembuat pakaian (komoditas) tersebut.
Kini kita kenal istilah “merek”, yang kerap melekat pada setiap komoditas. Di dalam bahasa Inggris, “merek” berarti “mark”. Bahasa Inggris, di dalam Oxford, mark berarti(1) put or have a mark on something (2) show the position of. Bahasa Indonesia, di dalam KBBI, merekberarti (1) tanda yang dikenakan oleh pengusaha pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal (2) kegagahan; keunggulan; kualitas. Jadi, merek merupakan penanda komoditas terhadap produsennya.
Merek ditulis beragam bentuk, dari besar hingga kecil. Belakangan ini, merek justru ditulis dengan ukuran besar. Sama halnya seperti paparan tulisan ini di awal, merek mampu meninggalkan jejaknya di dalam pikiran seseorang. Misalnya, “Billabong”, “DKNY”, “H & M”, dan sebagainya. Kata-kata yang ada di pakaian bukan lagi sekadar merek, melainkan telah merambah ke luar subtansi merek itu sendiri.Pretise, kegagahan, kenikmatan, dan strata sosial merupakan unsur lainnya. Unsur-unsur itu sejalan dengan adanya masyarakat kapitalisme.
Salah satu unsur iklan, dalam pandangan Rogerson, ialah sugestif. Kata-kata iklan memengaruhi pikiran kita. Salah satu merek, misalnya, tertera di depan baju dengan ukuran, paling tidak, dapat terbaca oleh orang lain, akan menyiratkan bahwa orang-orang “berkelas” atau kelas sosial tertentu sebaiknya menggunakan merek baju seperti si orang itu. Bila ingin terlihat berkelas atau ingin tampak seperti orang tadi, maka merek baju yang tertuju adalah merek yang digunakan si orang tadi. Bila orang berkelas identik menggunakan suatu merek, maka merek yang digunakan tersebut akan mencitrakan golongan berkelas. Begitu pula perseorangan, bila melihat seseorang dengan merek tertentu, maka merek yang dilihat tadi akan mencitrakan bagaimana si orang tersebut. Pada fase seperti ini, merek dan iklan sulit dibedakan. Pesanya tidak lagi semata pesan subtantif merek, melainkan telah mengandung segi keuntungan bagi produsen.
Pakaian –alat dan aksesoris tubuh- dan aksesoris yang melekat di tubuh, telah menjadi media iklan. Dengan efektifitas yang tinggi, bila dibandingkan dengan ruang iklan di media massa, para produsen komoditas seperti ini mengincar tubuh-tubuh masyarakat sebagai iklan. Tubuh dapat berjalan ke mana saja. Tubuh dapat menemui orang dari berbagai usia. Iklan di tubuh dapat dibaca oleh sanak saudara (adik, kakak, ibu, bapak, paman, nenek, dll). Iklan seperti ini dapat berjalan, memiliki ruang gerak, tidak seperti ruang iklan di papan iklan, koran, televisi, dan sebagainya. Tubuh Anda, tubuh saya, dan tubuh mereka merupakan ruang iklan yang murah (efisiensi), selain efektifitas tadi. Tentunya berilklan di tubuh tidak perlu membayar, justru dibayar. Konsumen telah terlena dengan suatu pretise, kegagahan, kenikmatan, dan strata sosial yang terkandung di dalam merek atau iklan.
Coba perhatikan di tubuh Anda, adakah kata-kata yang menguntungkan bagi produsennya? Maka, awasilah tubuh Anda dari iklan-iklan terselebung, tanpa membayar media iklan sepersen pun untuk Anda.
-dimuat di Kepadamu.com-