UU RI No 39 Th 2008 Ttg KEMENTERIAN NEGARA
https://catatancintaabadi.blogspot.com/2012/05/uu-ri-no-39-th-2008-ttg-kementerian.html
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan;
b. bahwa setiap menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Kementerian Negara;
Mengingat: Pasal 4, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEMENTERIAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
2. Menteri Negara yang selanjutnya disebut Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin Kementerian.
3. Urusan Pemerintahan adalah setiap urusan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pembentukan Kementerian adalah pembentukan Kementerian dengan nomenklatur tertentu setelah Presiden mengucapkan sumpah/janji.
5. Pengubahan Kementerian adalah pengubahan nomenklatur Kementerian dengan cara menggabungkan, memisahkan, dan/atau mengganti nomenklatur Kementerian yang sudah terbentuk.
6. Pembubaran Kementerian adalah menghapus Kementerian yang sudah terbentuk.
BAB II
KEDUDUKAN DAN URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
KEDUDUKAN DAN URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Kementerian berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Pasal 3
Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan
Pasal 4
Urusan Pemerintahan
Pasal 4
(1) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
(2) Urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.
Pasal 5
(1) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.
(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
(3) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c meliputi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.
Pasal 6
Setiap urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) tidak harus dibentuk dalam satu Kementerian tersendiri.
BAB III
TUGAS, FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 7
TUGAS, FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 7
Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 8
Fungsi
Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; dan
d. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; dan
d. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya;
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya;
d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian di daerah; dan
e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan di bidangnya;
b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi
Pasal 9
Susunan Organisasi
Pasal 9
(1) Susunan organisasi Kementerian yang menangani urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terdiri atas unsur:
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c. pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal;
d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal;
e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat; dan
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c. pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal;
d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal;
e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat; dan
f. pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Susunan organisasi Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri atas unsur:
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c. pelaksana, yaitu direktorat jenderal;
d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal; dan
e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat.
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c. pelaksana, yaitu direktorat jenderal;
d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal; dan
e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat.
(3) Kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan, dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) juga memiliki unsur pelaksana tugas pokok di daerah.
(4) Susunan organisasi Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) terdiri atas unsur:
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat Kementerian;
c. pelaksana, yaitu deputi; dan
d. pengawas, yaitu inspektorat.
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat Kementerian;
c. pelaksana, yaitu deputi; dan
d. pengawas, yaitu inspektorat.
Pasal 10
Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Kementerian diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB IV
PEMBENTUKAN, PENGUBAHAN, DAN PEMBUBARAN KEMENTERIAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Kementerian
Pasal 12
PEMBENTUKAN, PENGUBAHAN, DAN PEMBUBARAN KEMENTERIAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Kementerian
Pasal 12
Presiden membentuk Kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 13
(1) Presiden membentuk Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3)
(2) Pembentukan Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan:
a. efisiensi dan efektivitas;
b. cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas;
c. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau
d. perkembangan lingkungan global.
b. cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas;
c. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau
d. perkembangan lingkungan global.
Pasal 14
Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan Kementerian, Presiden dapat membentuk Kementerian koordinasi.
Pasal 15
Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat).
Pasal 16
Pembentukan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah/janji.
Bagian Kedua
Pengubahan Kementerian
Pasal 17
Pengubahan Kementerian
Pasal 17
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak dapat diubah oleh Presiden.
Pasal 18
(1) Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat diubah oleh Presiden.
(2) Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. efisiensi dan efektivitas;
b. perubahan dan/atau perkembangan tugas dan fungsi;
c. cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas;
d. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas;
e. peningkatan kinerja dan beban kerja pemerintah;
b. perubahan dan/atau perkembangan tugas dan fungsi;
c. cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas;
d. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas;
e. peningkatan kinerja dan beban kerja pemerintah;
f. kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri; dan/atau
g. kebutuhan penyesuaian peristilahan yang berkembang.
Pasal 19
(1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan Kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat Presiden diterima.
(3) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dewan Perwakilan Rakyat belum menyampaikan pertimbangannya, Dewan Perwakilan Rakyat dianggap sudah memberikan pertimbangan.
Bagian Ketiga
Pembubaran Kementerian
Pasal 20
Pembubaran Kementerian
Pasal 20
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.
Pasal 21
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat dibubarkan oleh Presiden dengan meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali Kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan, dan keamanan harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
BAB V
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 22
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 22
(1) Menteri diangkat oleh Presiden.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan
e. memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan
f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pasal 23
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Bagian Kedua
Pemberhentian
Pasal 24
Pemberhentian
Pasal 24
(1) Menteri berhenti dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia; atau
b. berakhir masa jabatan.
b. berakhir masa jabatan.
(2) Menteri diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden karena:
a. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
b. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut;
b. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; atau
e. alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.
(1) Presiden memberhentikan sementara Menteri yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
BAB VI
HUBUNGAN FUNGSIONAL KEMENTERIAN DAN
LEMBAGA PEMERINTAH NONKEMENTERIAN
Pasal 25
HUBUNGAN FUNGSIONAL KEMENTERIAN DAN
LEMBAGA PEMERINTAH NONKEMENTERIAN
Pasal 25
(1) Hubungan fungsional antara Kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian dilaksanakan secara sinergis sebagai satu sistem pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga pemerintah nonkementerian berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang mengoordinasikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan fungsional antara Menteri dan lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII
HUBUNGAN KEMENTERIAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 26
HUBUNGAN KEMENTERIAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 26
Hubungan antara Kementerian dan pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakartapada tanggal 6 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
pada tanggal 6 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA