10 Perubahan di Otak Remaja yang Bikin Galau dan Labil
https://catatancintaabadi.blogspot.com/2013/07/10-perubahan-di-otak-remaja-yang-bikin_13.html
Masa remaja adalah masa yang
galau, labil ataupun alay. Ada begitu banyak istilah-istilah aneh yang
disematkan untuk para remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri.
Di dalam otak dan kepalanya, para remaja ini mengalami beberapa
perubahan yang perlu diperhatikan.
Perubahan-perubahan ini dapat menjelaskan perilaku remaja yang acapkali
penuh drama, tak rasional dan agresif tanpa alasan yang jelas. Di sisi
lain, para remaja ini juga memiliki kebutuhan yang besar akan kebebasan
dan kasih sayang. Memang setelah bayi, pertumbuhan otak yang paling
drastis terjadi pada masa remaja.
Berikut adalah 10 perubahan yang terjadi pada otak para remaja:
1. Otak Sedang Dalam Tahap Perkembangan
Usia remaja kebanyakan ditentukan pada rentang usia antara 11 - 19
tahun. Masa-masa ini dianggap sebagai masa kritis pembangunan. Ketika
melalui masa pertumbuhan ini, ketrampilan kognitif dan kemampuan baru
akan muncul.
"Otak terus berubah sepanjang waktu, tetapi ada lompatan besar dalam
perkembangannya ketika memasuki masa remaja. orangtua harus memahami
bahwa meskipun anaknya tumbuh besar, pada tahap ini remaja masih berada
dalam masa perkembangan yang akan mempengaruhi kehidupannya
selanjutnya," kata Sara Johnson, asisten profesor di Sekolah Johns
Hopkins Bloomberg of Public Health.
2. Otak Mulai Mekar
Pada bayi, otak mengalami pertumbuhan koneksi yang amat besar. Namun
ketika memasuki usia 3 tahun, beberapa sambungan tersebut kemudian
dipangkas agar lebih lebih efisien.
Tetapi temuan yang diterbitkan jurnal Nature Neuroscience menegaskan
bahwa ledakan pertumbuhan saraf terjadi untuk kedua kalinya tepat
menjelang pubertas. Puncaknya adalah saat usia sekitar 11 tahun untuk
anak perempuan dan 12 tahun untuk anak laki-laki. Perkembangan ini
diperkirakan terus berlanjut hingga usia 25 tahun. Beberapa perubahan
kecil juga tetap berlangsung seumur hidup.
3. Memiliki Kemampuan Berpikir yang Baru
Karena meningkatnya sambungan saraf, otak remaja
jadi lebih efektif dalam mengolah informasi. Remaja mulai memiliki
kemampuan komputasi dan belajar mengambil keputusan layaknya orang
dewasa.
Sayangnya, remaja masih terlalu dipengaruhi oleh emosi karena otaknya
lebih mengandalkan sistem limbik yang mengedepankan emosi ketimbang
korteks prefrontal yang mengolah informasi secara rasional.
4. Rewel Kepada Orangtua
Remaja berada di tengah kesenangan memperoleh keterampilan baru yang
luar biasa, terutama yang berkaitan dengan perilaku sosial dan pemikiran
abstrak. Tapi karena belum pandai menggunakan, remaja harus melakukan
percobaan. Terkadang orangtuanya sendiri dijadikan sebagai kelinci
percobaan.
Banyak remaja melihat konflik sebagai sarana untuk mengekspresikan diri
dan mengalami kesulitan untuk berfokus pada hal-hal abstrak atau
memahami sudut pandang orang lain. Pada dasarnya remaja masih
membutuhkan orangtuanya dengan kematangan emosional agar membantunya
tetap tenang.
5. Gejolak Emosi yang Intens
Masa pubertas merupakan awal dari perubahan besar dalam sistem limbik,
yaitu bagian otak yang tidak hanya membantu mengatur detak jantung dan
kadar gula darah, tetapi juga penting untuk membentuk memori dan emosi.
Selama masa remaja, sistem limbik lebih banyak mendominasi dibandingkan
korteks prefrontal yang berhubungan dengan kemampuan perencanaan,
pengendalian dorongan dan daya nalar yang lebih tinggi.
Bersamaan dengan perubahan hormonal, dampak dominasi sistem limbik ini
membuat emosi yang dialami terasa lebih intens, misalnya kemarahan,
ketakutan, agresi, kegembiraan dan daya tarik seksual.
6. Sangat Memperhatikan Kata Teman
Karena remaja mulai mampu berpikir abstrak,
kecemasan sosialnya pun meningkat. Demikian menurut penelitian yang
dimuat jurnal Annals of New York Academy of Sciences. Penalaran yang
abstrak memungkinkan remaja memperhatikan bagaimanakah dirinya dilihat
oleh orang lain.
Remaja dapat menggunakan keterampilan baru untuk memikirkan apa yang
orang lain pikirkan tentang dirinya. Itulah mengapa remaja sangat
mendengarkan pendapat temannya. Namun di sisi lain, teman juga membantu
para remaja mempelajari keterampilan baru seperti negosiasi, kompromi
dan perencanaan kelompok.
7. Tak Pandai Mengukur Risiko
Kewaspadaan remaja bisa dibilang lambat bergarak karena dominasi sistem
limbik yang mengedepankan emosi. Akibatnya remaja memiliki toleransi
risiko yang lebih tinggi dibanding orang dewasa. Secara keseluruhan,
perubahan ini dapat membuat remaja rentan terlibat perilaku berisiko
seperti mencoba narkoba, terlibat perkelahian atau perilaku lain yang tidak aman.
8. Membutuhkan Figur Orangtua
Sebuah survei terhadap remaja mengungkapkan bahwa 84 persen remaja
memikirkan ibunya dan 89 persen memikirkan ayahnya. Lebih dari tiga
perempat remaja suka menghabiskan waktu bersama orangtuanya. Sebanyak 79
persen senang bercengkrama dengan ibu dan 76 persen dengan ayah.
Remaja masih membutuhkan orangtuanya untuk mempelajari bagaimanakah
hidup mandiri dan menyiapkan diri untuk membentuk rumah tangganya
sendiri.
9. Butuh Tidur Lebih Banyak
Mitosnya adalah remaja lebih banyak membutuhklan waktu tidur ketimbang
saat masih kanak-kanak. Namun sebenarnya kebanyakan masalah tidur yang
dialami remaja adalah pergeseran ritme sirkadian selama masa remaja.
Remaja cenderung bangun siang namun terjaga sampai larut malam.
Ditambah banyaknya kegiatan, banyak remaja akhirnya sampai kurang tidur.
Akibatnya dapat memperburuk pengambilan keputusan. Tidur yang cukup
dapat membantu otak remaja bekerja lebih optimal.
10. Narsis
Perubahan hormon saat pubertas berdampak besar bagi otak, salah satunya
adalah memacu reseptor oksitosin diproduksi lebih banyak. Oksitosin
meningkatkan kepekaan sistem limbik dan berkaitan dengan perasaan
kesadaran diri, sehingga membuat remaja merasa seolah-olah ada orang yang mengawasi
Hal ini mungkin membuat remaja jadi tampak egois. Di sisi lain,
perubahan hormon dalam otak remaja ini juga dapat membuat remaja menjadi
lebih idealis. Sampai otaknya berkembang untuk menghadapi isu-isu yang
bersifat abu-abu, remaja cenderung berpikir secara sepihak.