Mengakhiri Kekerasan di Sekolah Lewat Disiplin Positif
https://catatancintaabadi.blogspot.com/2013/12/mengakhiri-kekerasan-di-sekolah-lewat.html
Devi Asmarani
Selama 24 tahun mengajar, guru kelas 5 Darius Naki Sogho sering menggunakan tangan atau tongkat rotan untuk menghukum murid-muridnya.
“Saya dulu sering memukul murid-murid saya kalau mereka nakal atau tidak memperhatikan saya di kelas,” ujar Bapak Darius.
Namun setahun terakhir ini, Bapak Darius telah belajar untuk menguasai emosinya di kelas, dan berusaha mengajar dengan cara yang tidak menyakiti atau menakutkan murid-muridnya.
Ia melakukan ini melalui pendekatan Disiplin Positif, metode pengajaran yang sedang dilatih untuk sekelompok guru di Papua sebagai bagian dari kerjasama UNICEF dan pemerintah daerah untuk mengakhiri kekerasan di sekolah.
Menurut Multiple Indicator Cluster Survey 2011 di beberapa distrik Papua dan Papua Barat, hukuman emosional dan fisik masih sangat lazim. Lebih dari 60 persen ibu atau pengasuh dilaporkan menggunakan hukuman fisik terhadap anak-anaknya. Bahkan, sekitar satu dari empat mengaku mengaku menggunakan hukuman fisik yang berat.
Survey lain di tiga distrik menunjukkan bahwa hukuman fisik adalah hukuman yang paling lazim dilakukan di 56 persen sekolah yang diwawancarai. Meskipun para guru mengakui dampak buruk dari hukuman fisik, mereka tidak tahu alternatif lain untuk mendisiplinkan murid-murid mereka.
Chief Field Office UNICEF Jayapura Margaret Sheehan mengatakan studi global menunjukkan kekerasan berdampak negatif pada anak-anak, menyebabkan pelajaran mereka terganggu, mereka keluar dari sekolah, mengadopsi perilaku kekerasan dan bahkan mempengaruhi kesehatan mental.
“Kita perlu mengakhiri mitos bahwa hukuman kekerasan memberi dampak positif bagi anak-anak,” kata Ms. Sheehan. “Hukuman fisik tidak menciptakan anak yang kuat dan pandai, namun mengingkari hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang bebas dari kekerasan.”
Program ini dimulai pada akhir tahun 2012, dan selama setahun terakhir telah dilakukan empat pelatihan untuk guru-guru di 16 sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Kabupaten Jayapura, Jayawijaya dan Keerom di Papua. Pelatihan terakhir diadakan di Jayapura dan bertepatan dengan peluncuran kampanye global UNICEF, #ENDviolence against Children, di Indonesia.
Pelatihan ini memfokuskan pada pemberantasan tindakan kekerasan untuk mendisiplinkan siswa, termasuk lewat hukuman fisik, melalui praktek-praktek yang menguatkan perilaku positif.
Program ini bertujuan untuk membantu anak-anak menjadi lebih bertanggung jawab akan perilaku mereka sendiri. Dengan demikian, guru tidak lagi memaksa mereka untuk berperilaku yang baik, namun memberi mereka penghargaan untuk perilaku yang baik dengan memberi perhatian.
UNICEF bekerja sama dengan Professor Helen Cahil, yang dulunya juga seorang guru, dan Sally Beadle dari University of Melbourne untuk mengembangkan modul pelatihan guru yang paling efektif untuk pendekatan ini. Mereka juga dibantu oleh staf pengajar Fakultas Pendidikan Universitas Cendrawasih di Jayapura, Adolfina Krisifu dan Nancy Wompere.
“Pelatihan ini adalah kombinasi dari sistem berbasis fakta yang membantu guru-guru mempelajari keahlian baru; dan pendekatan partisipatoris yang memberi kesempatan praktek yang banyak bagi peserta lewat permainan peran dan pemecahan problem bersama tentang bagaimana melakukan perubahan di sekolah mereka,” jelas Professor Helen Cahil.
Modul pengajaran ini terbagi dalam tiga kelompok kurikulum untuk para guru, yaitu: Kelas 1-3, kelas 4-5 dan kelas 7-8.
Guru mempelajari 6-langkah yang mudah untuk diikuti, dimulai dari langkah-langkah preventatif untuk kenakalan tingkat rendah, hingga strategi respon untuk kenakalan tingkat tinggi.
Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bebas kekerasan, para guru dilarang untuk melakukan kekerasan fisik dan verbal dalam mendisiplinkan murid mereka, dan dianjurkan untuk mengaplikasikan pendekatan Disiplin Positif. Di sekolah ini, murid-murid terlihat lebih disiplin, percaya diri dan tidak lagi takut pada guru mereka.
Kata Bapak Darius: “Murid-murid dulu takut pada saya: Ketika saya berbicara, mereka menjadi tegang. Sekarang mereka terlihat menikmati kelas saya, karena saya berusaha memotivasi mereka, dan saya mengajar dengan lebih rileks, bahkan dengan bercanda.”
Setahun setelah memulai program Disiplin Positif, suasana di kelas telah berubah total. Siswa tidak takut guru mereka lagi. ©UNICEFIndonesia/2013/Esteve. |
Selama 24 tahun mengajar, guru kelas 5 Darius Naki Sogho sering menggunakan tangan atau tongkat rotan untuk menghukum murid-muridnya.
“Saya dulu sering memukul murid-murid saya kalau mereka nakal atau tidak memperhatikan saya di kelas,” ujar Bapak Darius.
Namun setahun terakhir ini, Bapak Darius telah belajar untuk menguasai emosinya di kelas, dan berusaha mengajar dengan cara yang tidak menyakiti atau menakutkan murid-muridnya.
Ia melakukan ini melalui pendekatan Disiplin Positif, metode pengajaran yang sedang dilatih untuk sekelompok guru di Papua sebagai bagian dari kerjasama UNICEF dan pemerintah daerah untuk mengakhiri kekerasan di sekolah.
Menurut Multiple Indicator Cluster Survey 2011 di beberapa distrik Papua dan Papua Barat, hukuman emosional dan fisik masih sangat lazim. Lebih dari 60 persen ibu atau pengasuh dilaporkan menggunakan hukuman fisik terhadap anak-anaknya. Bahkan, sekitar satu dari empat mengaku mengaku menggunakan hukuman fisik yang berat.
Survey lain di tiga distrik menunjukkan bahwa hukuman fisik adalah hukuman yang paling lazim dilakukan di 56 persen sekolah yang diwawancarai. Meskipun para guru mengakui dampak buruk dari hukuman fisik, mereka tidak tahu alternatif lain untuk mendisiplinkan murid-murid mereka.
Chief Field Office UNICEF Jayapura Margaret Sheehan mengatakan studi global menunjukkan kekerasan berdampak negatif pada anak-anak, menyebabkan pelajaran mereka terganggu, mereka keluar dari sekolah, mengadopsi perilaku kekerasan dan bahkan mempengaruhi kesehatan mental.
“Kita perlu mengakhiri mitos bahwa hukuman kekerasan memberi dampak positif bagi anak-anak,” kata Ms. Sheehan. “Hukuman fisik tidak menciptakan anak yang kuat dan pandai, namun mengingkari hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang bebas dari kekerasan.”
Program ini dimulai pada akhir tahun 2012, dan selama setahun terakhir telah dilakukan empat pelatihan untuk guru-guru di 16 sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Kabupaten Jayapura, Jayawijaya dan Keerom di Papua. Pelatihan terakhir diadakan di Jayapura dan bertepatan dengan peluncuran kampanye global UNICEF, #ENDviolence against Children, di Indonesia.
Pelatihan ini memfokuskan pada pemberantasan tindakan kekerasan untuk mendisiplinkan siswa, termasuk lewat hukuman fisik, melalui praktek-praktek yang menguatkan perilaku positif.
Program ini bertujuan untuk membantu anak-anak menjadi lebih bertanggung jawab akan perilaku mereka sendiri. Dengan demikian, guru tidak lagi memaksa mereka untuk berperilaku yang baik, namun memberi mereka penghargaan untuk perilaku yang baik dengan memberi perhatian.
UNICEF bekerja sama dengan Professor Helen Cahil, yang dulunya juga seorang guru, dan Sally Beadle dari University of Melbourne untuk mengembangkan modul pelatihan guru yang paling efektif untuk pendekatan ini. Mereka juga dibantu oleh staf pengajar Fakultas Pendidikan Universitas Cendrawasih di Jayapura, Adolfina Krisifu dan Nancy Wompere.
“Pelatihan ini adalah kombinasi dari sistem berbasis fakta yang membantu guru-guru mempelajari keahlian baru; dan pendekatan partisipatoris yang memberi kesempatan praktek yang banyak bagi peserta lewat permainan peran dan pemecahan problem bersama tentang bagaimana melakukan perubahan di sekolah mereka,” jelas Professor Helen Cahil.
Modul pengajaran ini terbagi dalam tiga kelompok kurikulum untuk para guru, yaitu: Kelas 1-3, kelas 4-5 dan kelas 7-8.
Guru mempelajari 6-langkah yang mudah untuk diikuti, dimulai dari langkah-langkah preventatif untuk kenakalan tingkat rendah, hingga strategi respon untuk kenakalan tingkat tinggi.
Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bebas kekerasan, para guru dilarang untuk melakukan kekerasan fisik dan verbal dalam mendisiplinkan murid mereka, dan dianjurkan untuk mengaplikasikan pendekatan Disiplin Positif. Di sekolah ini, murid-murid terlihat lebih disiplin, percaya diri dan tidak lagi takut pada guru mereka.
Kata Bapak Darius: “Murid-murid dulu takut pada saya: Ketika saya berbicara, mereka menjadi tegang. Sekarang mereka terlihat menikmati kelas saya, karena saya berusaha memotivasi mereka, dan saya mengajar dengan lebih rileks, bahkan dengan bercanda.”