Negara Pecandu Bola
http://catatancintaabadi.blogspot.com/2012/04/negara-pecandu-bola.html
Mungkin kita pernah nonton film Offside yang digarap oleh Jafar Panahi? Film yang bercerita tentang kegilaan warga Iran terhadap bola. Kegilaan tersebut muncul karena tim nasional Iran menghadapi fase akhir untuk lolos ke putaran final Piala Dunia. Kegilaan itu dilakukan dengan cara ekstrim bagi warga Iran –coba tengok Iran, yang tidak memberikan kebebasan bagi perempuan dalam menentukan pilihan hidupnya- yang ditunjukkan melalui tokoh seorang perempuan. Si perempuan tokoh berani melawan peraturan setempat demi menonton bola.
Selain film, ulasan seorang ahli semiotika, Umberto Eco, pernah mengulas tentang sepakbola. Sepakbola itu ternyata bisa memberikan kegilaan bagi bangsa negara.
Euforia sepakbola terbilang sangat tinggi. Tengok saja setiap gelaran Piala Dunia, Piala Eropa -sebentar lagi, dalam hitungan hari akan diadakan di Polandia-Ukraina,- Piala Champions -kini dalam fase semifinal, yang memungkinkan final besar El Clasico,- Piala Asia, hingga Piala ASEAN. Segala usia telah merasuki.
Begitulah sepakbola –tradisi olah raga asal negeri Ratu Elisabet itu- yang merasuki berbagai sektor kehidupan bangsa. Salah satunya adalah politik praktis di Indonesia, dengan potensi penontonnya mencapai 1juta jiwa.
Setelah melalui fase konflik dinamik yang unik, mulai sejak akhir kepemimpinan Nurdin Halid hingga terpilihnya Djohar Arifin. Konflik pun tidak urung usai. Terakhir, muncul tarik-ulur pembentukan timnas. Timnas Indonesia ada dua versi, nantinya, yakni Timnas versi PSSI Djohar Arifin dan Timnas versi KPSI La Nyala Mattalitti. Menurut kabar, Timnas versi PSSI akan bertanding pada suatu ajang di Palestina, Mei nanti. Maka tak heran, persepakbolaan di Indonesia kita sebar dua: dua keorganisasian, dua kepemimpinan, dua liga, dan jangan-jangan (anekdotnya) kelak sepakbola Indonesia itu ada dua bola di lapangan.
PSSI itu ibarat kolam yang mendapat aliran air langsung dari pegunungan. Seperti kolam itu, airnya didapatkan dari pegunungan sehingga bisa ‘menyehatkan’ seisi kolam. Akan ada tumbuhan kolam yang tumbuh hijau, akan ada hewan-hewan kecil yang ‘ceria’, dan akan ada pula kesegaran ikan-ikan yang menghuni kolam –tentunya ikan yang sesuai hidup di daerah seperti itu.-
Secara tidak sadar, dari sebuah pertandingan sepakbola, iklan-iklan muncul bertubi-tubi dari lapangan. Iklan-iklan itu: banner tepi lapangan, space iklan di kostum pemain (kaus dan sepatu), dan di tribun penonton. Selain iklan dari lapangan tersebut, ada pula iklan yang telah merger dengan stasiun televisi yang menayangkan.
Iklan tersebut secara tidak sadar merasuki kepala para penontonnya. Perlahan tapi pasti, tayangan iklan dari berbagai media itu mampu masuk ke dalam bawah sadar. Para penonton dikonstruk jadi ‘konsumen’ yang baik.
Ada fananatisme berlebihan di dalam sepakbola. Karena itu, para pelaku ekonomi makro tidak sungkan-sungkan memberikan modal terhadap persepakbolaan. Dan, bimsalabim abracadabra, sepakbola pun jadi industri olahraga yang menguntungkan –dalam pantauan saya, sepakbola merupakan olahraga yang penontonnya sangat besar- sehingga jadi ajang rebutan pebisnis.
Begitulah, sepakbola dengan sengaja dipopulerkan seiring budaya populer yang mengalir di dunia dari sumbernya, Amerika, dengan didorong oleh tingginya para penonton olah raga ini. Pelaku binis dari berbagai sektor, seperti AIG (asuransi), Emirates dan Qatar Foundation (penerbangan internasional), serta taipan minyak rela menghidupkan klub sepakbola demi ‘feedback’ bisnis.
Jadi, tidaklah heran bila kepengurusan sepakbola PSSI, bahkan FIFA pun mengalami kasus yang mirip melalui kasus Seep Blater beberapa waktu yang lalu, terus mengencangkan kursinya masing-masing pemimpin. Mau tidak mau, FIFA semestinya turun tangan ke Negeri Pecandu Bola ini.
dimuat di Catred Okezone.
Selain film, ulasan seorang ahli semiotika, Umberto Eco, pernah mengulas tentang sepakbola. Sepakbola itu ternyata bisa memberikan kegilaan bagi bangsa negara.
Euforia sepakbola terbilang sangat tinggi. Tengok saja setiap gelaran Piala Dunia, Piala Eropa -sebentar lagi, dalam hitungan hari akan diadakan di Polandia-Ukraina,- Piala Champions -kini dalam fase semifinal, yang memungkinkan final besar El Clasico,- Piala Asia, hingga Piala ASEAN. Segala usia telah merasuki.
Begitulah sepakbola –tradisi olah raga asal negeri Ratu Elisabet itu- yang merasuki berbagai sektor kehidupan bangsa. Salah satunya adalah politik praktis di Indonesia, dengan potensi penontonnya mencapai 1juta jiwa.
Setelah melalui fase konflik dinamik yang unik, mulai sejak akhir kepemimpinan Nurdin Halid hingga terpilihnya Djohar Arifin. Konflik pun tidak urung usai. Terakhir, muncul tarik-ulur pembentukan timnas. Timnas Indonesia ada dua versi, nantinya, yakni Timnas versi PSSI Djohar Arifin dan Timnas versi KPSI La Nyala Mattalitti. Menurut kabar, Timnas versi PSSI akan bertanding pada suatu ajang di Palestina, Mei nanti. Maka tak heran, persepakbolaan di Indonesia kita sebar dua: dua keorganisasian, dua kepemimpinan, dua liga, dan jangan-jangan (anekdotnya) kelak sepakbola Indonesia itu ada dua bola di lapangan.
PSSI itu ibarat kolam yang mendapat aliran air langsung dari pegunungan. Seperti kolam itu, airnya didapatkan dari pegunungan sehingga bisa ‘menyehatkan’ seisi kolam. Akan ada tumbuhan kolam yang tumbuh hijau, akan ada hewan-hewan kecil yang ‘ceria’, dan akan ada pula kesegaran ikan-ikan yang menghuni kolam –tentunya ikan yang sesuai hidup di daerah seperti itu.-
Secara tidak sadar, dari sebuah pertandingan sepakbola, iklan-iklan muncul bertubi-tubi dari lapangan. Iklan-iklan itu: banner tepi lapangan, space iklan di kostum pemain (kaus dan sepatu), dan di tribun penonton. Selain iklan dari lapangan tersebut, ada pula iklan yang telah merger dengan stasiun televisi yang menayangkan.
Iklan tersebut secara tidak sadar merasuki kepala para penontonnya. Perlahan tapi pasti, tayangan iklan dari berbagai media itu mampu masuk ke dalam bawah sadar. Para penonton dikonstruk jadi ‘konsumen’ yang baik.
Ada fananatisme berlebihan di dalam sepakbola. Karena itu, para pelaku ekonomi makro tidak sungkan-sungkan memberikan modal terhadap persepakbolaan. Dan, bimsalabim abracadabra, sepakbola pun jadi industri olahraga yang menguntungkan –dalam pantauan saya, sepakbola merupakan olahraga yang penontonnya sangat besar- sehingga jadi ajang rebutan pebisnis.
Begitulah, sepakbola dengan sengaja dipopulerkan seiring budaya populer yang mengalir di dunia dari sumbernya, Amerika, dengan didorong oleh tingginya para penonton olah raga ini. Pelaku binis dari berbagai sektor, seperti AIG (asuransi), Emirates dan Qatar Foundation (penerbangan internasional), serta taipan minyak rela menghidupkan klub sepakbola demi ‘feedback’ bisnis.
Jadi, tidaklah heran bila kepengurusan sepakbola PSSI, bahkan FIFA pun mengalami kasus yang mirip melalui kasus Seep Blater beberapa waktu yang lalu, terus mengencangkan kursinya masing-masing pemimpin. Mau tidak mau, FIFA semestinya turun tangan ke Negeri Pecandu Bola ini.
dimuat di Catred Okezone.