Musik Bambu
http://catatancintaabadi.blogspot.com/2012/06/musik-bambu.html?m=1
Alat musik bambu di Minahasa sudah dikenal sejak dahulu kala. Ketika itu alat musiknya masih berbentuk tiga ruas bambu dengan panjang yang berbeda sekitar 8 cm yang di ikat menjadi satu. Alat musik ini dibuat dari bulu tui, sejenis bambu berdiameter kecil, hanya 2—3 cm. Ia menghasilkan 3 jenis nada yang gunanya untuk memanggil burung Manguni di malam hari yang di sebut sori.
Selanjutnya di Jaman Portugis datang ke Minahasa pada sekitar tahun 1560 dikenal suling bambu penthatonis 5 lubang dan dilengkapi satu lubang untuk meniup. Suling bambu kemungkinan datang dari Ternate bersama Kolintang gong (momongan) melalui perdagangan beras Minahasa sejak Jaman Portugis di Minahasa sampai jaman V.O.C. Belanda 1560 –1870.
Suling ini menghasilkan 5 macam nada dan menjadi salah satu alat musik pendukung Musik Maoling yang terdiri dari kolintang gong ,tambur dan gong besar. Pada sekitar tahun 1789, suling bambu juga mulai banyak dimainkan di gereja oleh orang-orang Kristen protestan waktu itu, yaitu masyarakat Borgo yang tinggal di Manado, Tanawangko, Belang, Kema, Likupang, dan Amurang. Masyarakat keturunan Borgo memang bermukim di beberapa wilayah Minahasa. Mereka bukanlah salah satu sub-etnis Minahasa, melainkan diduga sebagai salah satu kelompok keturunan asing yang sudah lama tinggal dan bermukim di Minahasa.
Selain suling bambu 5 nada, saat itu juga dikenal suling bambu tiga nada yang kebanyakan dimainkan anak-anak sekolah pada waktu itu. Bahkan, musik suling anak-anak sekolah tersebut pernah digunakan Korps Musik Hindia Belanda Kawangkoan untuk mengiringi pemberangkatan serdadu Minahasa ke perang Jawa tahun 1829 di pelabuhan Wenang (saat ini Manado). Korps musik kerajaan Belanda ini juga yang mengiringi tarian katreli oleh para milisi orang Manado-Minahasa di Manado tahun 1885
Selanjutnya pada tahun 1840-an, terbentuk Orkes Musik Suling, yang dipengaruhi oleh korps musik militer Belanda. Apalagi Zending Belanda berusaha menghapus alat musik gong di Minahasa dan menggantikannya dengan musik suling pada tahun 1844 . Dan pada tahun 1870 meniup suling bambu menjadi salah satu mata pelajaran sol-mi-sa-si untuk belajar lagu-lagu Gereja.
Sampai tahun 1880, orkes musik bambu hanya berupa musik suling saja. Nanti setelah tahun 1880-an barulah masyarakat mengenal alat musik bambu yang berfungsi sebagai Bass dan Tuba (Piston). Sejak itulah dikenal nama orkes Musik Bambu Melulu yang terdiri dari sederetan peniup suling , tambur besar kecil ,korno (Hoorn), piston dari bambu, bombardon (bas) dari bambu, pontuang, dan gong.
Musik ‘ Suling Bambu’ perlahan-lahan tersingkir oleh orkes Musik Bambu yang alat musiknya bukan hanya suling saja, melainkan campuran beberapa jenis alat musik dari bambu. Bahkan didukung pula oleh alat-alat musik buatan Eropa seperti tambur, genderang, clarinet, dan terompet.
Pada tahun 1932, Kek Beng – seorang pengrajin kaleng (Tukang Blek) dari Amurang, berhasil membuat tiruan alat musik Eropa, yakni tuba dan bombardon (bas) dari bahan seng aluminium. Sejak itulah Orkes Suling Bambu dengan tuba (Piston) dan bass dari bahan Bambu berubah menjadi Musik Bambu Seng, dimana hanya suling dan korno saja yang terbuat dari bambu. Dengan alat-alat musik pendukung yang makin lengkap itulah, akhirnya Musik Bambu berkembang menjadi salah satu alat musik tradisional bergengsi. Alat musik ini bahkan menjadi pengiring lagu untuk menghormati tamu agung, pesta perkawinan, upacara adat dan upacara lainnya.
Sampai tahun 1957 sebelum pergolakan permesta, seluruh musik bambu di Minahasa sudah berbentuk musik bambu seng seperti orkes musik bambu “Garuda” (Buyungon), “Banteng“ (Rumoong bawah), “Nasional” (Kawangkoan bawah ), “Uluna” (Tondano), “Orion” (Kakaskasen –Tomohon) dan sebagainya.
Karena alat musik dari seng aluminium cepat berlombang terkena air liur manusia yang mengandung garam, maka di tahun 1970-an bahan baku dari peralatan musik bambu seperti Klarinet, Saxophon, Tuba,Oferton, dan bass di ganti dari kuningan. Alat tiup bas dan Tuba mengalami perubahan menjadi ‘Tuba Celo’ dan “Tuba benyo. Sejak itulah dikenal sebutan Musik Bambu Seng Klarinet (MBSK).
Namun karena bahan kuningan juga cepat menjadi buram terkena keringat manusia, maka sejak tahun 1990-an mulai dicari bahan logam lain supaya alat musik tiup nampak selalu bercahaya tanpa selalu harus digosok dan di bersihkan. Akhirnya dipilih besi putih (vernikel, stainless steel), yaitu logam berwarna perak berkilau.
Musik bambu dimainkan secara massal oleh 30—60 orang dalam satu grup (tumpukan). Dan setiap satu tumpukan dipimpin oleh seorang konduktor ( tukang palu). Secara umum personil grup musik bambu akan terdiri dari :
· Konduktor (tukang palu)
· Deretan depan terdiri dari : peniup suling kecil, suling sedang, klarinet dan saxophon
· Deretan tengah diisi oleh pemain korno terdiri dari krno C (do), korno D (re), korno E (mi), korno G (sol), korno A (la), korno B (si), dan korno C” ( do tinggi ).
· Deretan belakang terdiri dari pemegang Tuba, Oferton, kapuraca, Bass, Tambur, snar, dan simbal.
Musik bambu umumnya hanya dapat memainkan lagu dalam 1 (satu) tangga nada, misalnya kunci “C” (C=1=do) atau kunci “D” (D=1=do). Tapi karena musik bambu Minahasa bertangga nada diatonis maka musik inipun menjadi musik universal yang bisa memainkan segala jenis lagu. Mulai dari lagu daerah, lagu rohani gereja, hingga lagu perjuangan. Bahkan jenis-jenis lagu seperti Mars, Waltz, tango, rumba, dan cha cha pun dapat dimainkannya.
Mari Gerakan membangun kebudayaan di pa torang pe daerah, jang sampe orang malaysia bilang dorang poexa,., hikxxxx
Posting Komentar