STRATEGI PENANGANAN PERKARA DI PERADILAN HAM
https://catatancintaabadi.blogspot.com/2012/05/strategi-penanganan-perkara-di.html
I. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PERKARA-PERKARA HAM
Pasal 1-UU No. 26 Tahun 2000
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
3. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
4. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual.
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindak lanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 4
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pasal 5
Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia olah warga negara Indonesia.
Pasal 6
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
II. KOMPETENSI PERADILAN HAM MENURUT UU NO. 26 TAHUN 2000
Pasal 7
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berta meliputi :
a. Kejahatan genosida.
b. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk mengahncurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. Memasksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
a.Pembunuhan;
b.Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d.Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secar paksa atau dalam bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h.Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertantu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan apartheid.
III. STRATEGI PENANGANAN PERKARA DI PERADILAN HAM
Dalam strategi penanganan perkara di peradilan HAM Indonesia, maka perlu diperhatikan beberapa hal / pasal penting berikut ini, yang merupakan sebagian dari ‘titik lemah’ dari UU tentang Peradilan HAM ini, yaitu :
1. Tidak adanya kejelasan mengenai unsur meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (instension), hal ini akan berakibat munculnya berbagai macam interpretasi atas pengertian diatas. Disamping itu tidak adanya element of crimes secara jelas untuk mendefinisikan bentuk-bentuk kejahatan yang termasuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity) tersebut akan melemahkan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan karena dapat ditafsirkan sendiri-sendiri.
2. Pasal 10 UU Pengadilan HAM menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana (KUHAP), hal ini berarti bahwa hukum acara dalam proses pengadilan HAM menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan KUHAP. Salah satu implikasi yang paling krusial dari pasal tersebut adalah berkaitan dengan bukti sah yang dapat diterima sesuai dengan KUHAP sebagaimana yang tertera pada pasal 184 yaitu : Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Hal ini tentu jauh dari memadai untuk membuktikan terjadinya pelanggaran HAM berat, sehingga tidak dapat dikomparasikan dengan praktek peradilan HAM ditingkat internasioanal. Praktek / pengalaman internasional yang menyidangkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat ternyata justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti yang diatur oleh KUHAP, misalnya : rekaman (baik yang berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku), kliping koran, artikel lepas, dst.
3. Berkaitan dengan eksistensi Pengadilan HAM Ad-Hoc sebagaimana diatur pada pasal 43, yaitu :
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atau usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada dilingkungan Peradilan Umum.
Ketentuan mengenai pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 tersebut tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan proses pembentukan Pengadilan Ad-Hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM berat. Dari proses menuju pengadilan HAM Ad-Hoc ini, sorotan paling tajam adalah adanya kewenangan kepeda DPR untuk dapat mengusulkan adanya / digelarnya Pengadilan HAM Ad-Hoc. Adanya fakta ini sama halnya dengan memberikan kewenanagan kepada DPR untuk memandang adanya pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan kemudian dapat menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Pasal ini juga dinilai banyak menghambat proses kearah adanya pengadilan HAM Ad-Hoc hanya karena DPR menganggap tidak adanya pelanggaran HAM berat, seperti yang terjadi pada Kasus Tragedi Semanggi dan Kasus Trisakti pada tahun 1998 yang lalu dimana DPR mengeluarkan Rekomendasi bahwa dalam kedua kasus tersebut tidak ditemukan terjadinya Pelanggaran HAM berat, sehingga tidak bisa berlanjut dengan digelarnya Pengadilan HAM Ad-Hoc untuk mengadili pihak-pihak yang semestinya harus dimintai prtanggung-jawaban dalam kasus tersebut.